Purbaya Ragu Isu Ekonomi Bawah Tanah: “Underground Pasti Enggak Bisa Dihitung”
Kompas - Belakangan Ini, Pernyataan Dari Ketua LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, Soal Ekonomi Bawah Tanah Alias Underground Economy, Lagi Rame Banget Dibahas. Dalam Sebuah Kesempatan, Dia Bilang Kalau Ekonomi Bawah Tanah Itu Sebenarnya “Nggak Bisa Dihitung” Karena, Ya, Namanya Juga Underground — Alias Tersembunyi.
Buat Sebagian
Orang, Komentar Itu Kayak Tamparan Kecil Buat Para Ekonom Yang Suka Banget
Nyari Angka Di Balik Sektor-Sektor Yang Belum Tercatat Resmi Di Data
Pemerintah. Tapi Di Sisi Lain, Omongan Purbaya Juga Nunjukin Betapa Rumitnya
Ngitung Aktivitas Ekonomi Yang Sengaja Disembunyiin Dari Sistem.
Nah, Artikel
Ini Bakal Bahas Lebih Dalam Tentang Maksud Pernyataan Purbaya, Apa Itu Ekonomi
Bawah Tanah, Kenapa Isu Ini Penting Banget Buat Fiskal Indonesia, Dan Gimana
Pemerintah Bisa Nyari Cara Biar Ekonomi “Tak Terlihat” Ini Pelan-Pelan Bisa
Naik Ke Permukaan.
Apa Itu Ekonomi “Bawah Tanah” Dan Shadow Economy
Sebelum Ngomongin
Lebih Jauh, Kita Mesti Ngerti Dulu Apa Sih Yang Dimaksud Sama Ekonomi Bawah
Tanah. Dalam Istilah Ekonomi, Underground Economy Atau Shadow
Economy Itu Adalah Seluruh Aktivitas Ekonomi Yang Nggak Tercatat Di Data
Resmi Pemerintah.
Biasanya,
Aktivitas Ini Terjadi Karena Pelakunya Mau Ngindarin Pajak, Aturan, Atau Izin. Contohnya?
Bisa Aja Pedagang Kecil Yang Belum Punya NPWP, Transaksi Tunai Tanpa Faktur,
Atau Bahkan Bisnis Besar Yang Main Di Wilayah Abu-Abu Kayak Penyelundupan.
Bedain Juga,
Ya, Antara Ekonomi Informal Sama Ekonomi Bawah Tanah. Ekonomi Informal Itu
Kayak Usaha Kecil Atau UMKM Yang Legal Tapi Belum Terdaftar, Sementara Underground
Economy Lebih Ke Arah Aktivitas Yang Sengaja Disembunyikan Biar Nggak Kena
Regulasi Atau Pajak.
Pernyataan Purbaya: “Underground Pasti Enggak Bisa Dihitung”
Jadi, Dalam
Sebuah Forum Publik, Purbaya Yudhi Sadewa Sempat Ngomong Bahwa Dia
Skeptis Banget Sama Angka-Angka Yang Sering Muncul Terkait Besaran Shadow
Economy Di Indonesia.
Menurut Dia,
“Namanya Juga Underground, Pasti Enggak Bisa Dihitung. Kalau Udah Bisa
Dihitung, Berarti Udah Bukan Underground Lagi.”
Buat Purbaya,
Banyak Studi Akademik Yang Mencoba Memperkirakan Nilai Ekonomi Bawah Tanah Tapi
Hasilnya Sering Jauh Banget Dari Kenyataan. Dia Khawatir Kalau Angka-Angka Itu
Malah Bikin Pemerintah Salah Ambil Keputusan Fiskal.
Katanya Lagi,
Pemerintah Bakal Tetap Fokus Ke Ekonomi Formal Yang Bisa Diverifikasi, Bukan Ke
Angka-Angka “Dugaan” Yang Belum Jelas Dasarnya.
Studi & Estimasi Ekonomi Bawah Tanah Di Indonesia
Walau
Purbaya Keliatan Ragu, Tapi Sebenarnya Riset Soal Ekonomi Bawah Tanah Di Indonesia
Udah Lumayan Lama Dilakukan.
Salah Satunya,
Riset Dari Kharisma & Khoirunurrofik Yang Ngitung Bahwa Aktivitas Shadow
Economy Di Indonesia Bisa Mencapai 3,8–11,6% Dari PDB Nasional
Selama Periode 2007–2017. Kalau Dikonversi Ke Rupiah, Nilainya Bisa Nyentuh Rp1.900
Triliun Lebih — Angka Yang Gila Banget Kalau Beneran Akurat.
Tapi Ya
Balik Lagi, Angka Segede Itu Masih Debatable. Soalnya Metode Ngitungnya Aja
Beda-Beda: Ada Yang Pakai Pendekatan Konsumsi Listrik, Peredaran Uang Tunai,
Sampai Model Statistik Berbasis Perilaku Konsumsi Masyarakat. Jadi Wajar Kalau Purbaya
Ngerasa, “Mending Jangan Ngandalkan Angka Bayangan.”
Alasan Purbaya Ragu Dan Kritik Terhadap Estimasi Tersembunyi
Dari Sudut
Pandang Ekonom Yang Pragmatis Kayak Purbaya, Masuk Akal Kalau Dia Skeptis. Soalnya,
Kalau Sesuatu Bisa Dilacak Dengan Data, Artinya Itu Udah Nggak “Underground”
Lagi.
Masalahnya,
Metode Estimasi Sering Banget Pakai Data Turunan Yang Rentan Bias. Misalnya,
Kalau Peredaran Uang Tunai Meningkat, Bukan Berarti Semua Transaksi Itu Ilegal
Atau Tersembunyi. Bisa Aja Karena Masyarakat Belum Digital.
Selain Itu,
Model Prediktif Buat Ngitung Shadow Economy Juga Bergantung Banget Sama
Asumsi. Nah, Di Dunia Ekonomi, Asumsi Yang Salah Bisa Bikin Hasilnya Ngaco
Total. Jadi Ya Wajar Aja Kalau Dia Bilang, “Hati-Hati Ngitung Hal Yang Nggak
Kelihatan.”
Reaksi Akademisi, Ekonom, Dan Ahli Pajak
Meski Begitu,
Banyak Akademisi Yang Nggak Sepenuhnya Setuju Sama Purbaya. Mereka Bilang,
Justru Penting Buat Punya Gambaran Meskipun Cuma Estimasi.
Menurut Beberapa
Ekonom Universitas Negeri, Studi Shadow Economy Itu Kayak “Radar” Buat
Liat Potensi Kebocoran Penerimaan Pajak. Tanpa Itu, Pemerintah Bisa Aja
Kehilangan Peluang Besar Buat Ningkatin Basis Pajak.
Di Negara
Lain Kayak Jerman Atau Korea Selatan, Mereka Malah Serius Banget Ngitung
Aktivitas Bawah Tanah Buat Dijadiin Dasar Reformasi Pajak. Jadi Meskipun Susah,
Bukan Berarti Nggak Bisa — Tinggal Metodologinya Yang Diperbaiki.
Implikasi Kebijakan Jika Underground Ekonomi Diabaikan
Nah, Kalau
Pemerintah Terus Abaikan Sektor Ekonomi Bawah Tanah, Efeknya Bisa Lumayan
Panjang.
Pertama,
Potensi Penerimaan Pajak Bisa Hilang. Kedua, Kesenjangan Antara Ekonomi Formal
Dan Informal Makin Besar. Dan Ketiga, Kebijakan Fiskal Jadi Nggak Tepat Sasaran
Karena Data Dasarnya Nggak Lengkap.
Misalnya,
Pemerintah Bisa Aja Ngerasa Beban Pajak Udah Adil, Padahal Di Lapangan Banyak
Aktivitas Ekonomi Besar Yang Belum Tercatat Sama Sekali. Akhirnya, Sektor
Formal Ngerasa Berat Sementara Yang “Underground” Bebas Tanpa Kontribusi.
Strategi Pemerintah & Tantangan Operasional Mengangkat Ekonomi Bawah Tanah Ke Permukaan
Sebenarnya,
Pemerintah Udah Mulai Ambil Langkah Buat “Ngelihat” Ekonomi Tersembunyi Ini. Salah
Satunya Lewat Integrasi NIK Dan NPWP, Biar Semua Aktivitas Ekonomi Bisa
Dikaitin Langsung Sama Identitas Individu.
Selain Itu,
Sistem Digitalisasi Pajak Juga Terus Digenjot. Dari Pelaporan Online, Transaksi
Elektronik, Sampai E-Faktur. Tapi, Tantangannya Masih Banyak Banget:
Data Yang Masih Tersebar Di Berbagai Instansi, Kapasitas Petugas Pajak Di
Daerah Yang Belum Merata, Dan Mindset Masyarakat Yang Masih Takut Formalitas.
Jadi, Untuk
Ngangkat Underground Economy Ke Permukaan, Pemerintah Bukan Cuma Butuh
Teknologi, Tapi Juga Pendekatan Sosial Dan Edukasi Biar Masyarakat Mau “Naik
Kelas” Ke Sistem Formal.
Perspektif “Who, How, Why” Dalam Kebijakan Ekonomi Tersembunyi
Kalau Kita
Pakai Pendekatan Who, How, Why Yang Direkomendasiin Google Buat Konten People-First,
Jawabannya Jelas Banget.
Who: Pelaku Ekonomi Bawah Tanah Itu Bisa
Siapa Aja — Dari Pedagang Kaki Lima, Pengrajin Rumahan, Sampai Pelaku Bisnis
Yang Sengaja Nggak Lapor Pajak.
How: Mereka Beroperasi Lewat Sistem
Tunai, Transaksi Langsung Tanpa Faktur, Atau Pakai Jaringan Lokal Tanpa Catatan
Resmi.
Why: Alasan Mereka Sederhana — Pengen
Efisien, Takut Ribet Birokrasi, Atau Emang Sengaja Ngindarin Pajak. Beberapa Juga
Karena Nggak Ngerti Cara Daftar Usaha.
Jadi, Isu
Ekonomi Bawah Tanah Ini Bukan Sekadar Masalah Pajak, Tapi Juga Masalah Inklusi
Ekonomi Dan Kepercayaan Masyarakat Ke Sistem.
Legenda Baru Ekonomi Indonesia: “Invisible Doesn’t Mean Ignorable”
Kalau Dipikir-Pikir,
Pernyataan Purbaya Itu Sebenarnya Punya Dua Sisi. Di Satu Sisi, Dia Realistis —
Ngitung Sesuatu Yang Tersembunyi Emang Susah Banget. Tapi Di Sisi Lain, Kalau
Kita Anggap Semua Yang Nggak Kelihatan Itu Nggak Penting, Kita Bisa Aja
Kehilangan Potensi Besar Ekonomi Rakyat.
Kata Orang, “Invisible
Doesn’t Mean Ignorable.” Ekonomi Bawah Tanah Bisa Aja Nggak Tercatat, Tapi
Dampaknya Ke Masyarakat Nyata Banget. Dari Warung Kecil Sampai Bisnis Rumahan,
Semua Bagian Dari Denyut Ekonomi Indonesia Yang Sebenarnya.
Penutup Reflektif
Jadi, Bener
Sih Kalau Purbaya Bilang, “Namanya Underground Ya Nggak Bisa Dihitung.” Tapi Bukan
Berarti Nggak Bisa Dipahami Atau Dikelola.
Kuncinya Ada
Di Kolaborasi Antara Riset Akademis, Kebijakan Pemerintah, Dan Kesadaran
Masyarakat. Karena Ekonomi Indonesia Itu Nggak Cuma Yang Tercatat Di Data BPS,
Tapi Juga Yang Berputar Di Jalanan, Pasar, Dan Dompet Digital Rakyat Biasa.
Kalau Mau Ekonomi Kuat Dan Inklusif, Ya Semuanya Harus Kelihatan — Bukan Cuma Yang On The Record, Tapi Juga Yang Off The Radar.