Kasus Ijazah Jokowi: Fakta Pemeriksaan Rismon Sianipar
Kompasjawa.com - Kontroversi mengenai kasus ijazah Jokowi kembali mencuat dan memantik diskusi publik. Polemik ini bermula dari tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu saat mencalonkan diri sebagai kepala negara. Meski isu ini sempat mereda, kini kembali ramai usai Rismon Sianipar, seorang ahli digital forensik, dipanggil polisi sebagai saksi kunci dalam penyelidikan.
Pemeriksaan
terhadap Rismon Sianipar oleh Polda Metro Jaya menjadi sorotan. Ia sebelumnya
mengunggah analisis digital mengenai keaslian ijazah Presiden Jokowi. Klaimnya
menghebohkan publik karena menyangkut kredibilitas orang nomor satu di
Indonesia. Polisi bergerak cepat untuk mendalami semua pihak yang terlibat
dalam penyebaran dugaan tersebut.
Artikel ini akan mengupas tuntas fakta pemeriksaan, latar belakang kasus, analisis forensik yang disampaikan Rismon, hingga dampak politik dan hukum yang ditimbulkan oleh kasus ijazah Jokowi ini. Simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Awal Mula Kasus Ijazah Jokowi Dipersoalkan
Isu
mengenai kasus ijazah Jokowi pertama kali menyeruak di media sosial.
Sebuah unggahan video memperlihatkan analisis terhadap dokumen ijazah yang
menyebutkan bahwa font yang digunakan, yaitu Times New Roman, tidak lazim
digunakan di era 1980-an. Unggahan tersebut langsung viral dan memicu
perdebatan luas di masyarakat.
Klaim
tersebut memicu spekulasi tentang keaslian ijazah yang dimiliki Presiden
Jokowi. Beberapa pihak menduga ada pemalsuan, sementara yang lain menganggap
isu ini sebagai bentuk fitnah dan upaya delegitimasi politik. Narasi hoaks pun
berkembang tanpa henti di berbagai platform media sosial, termasuk Twitter,
YouTube, dan Facebook.
Publik yang haus akan informasi menjadi sasaran empuk penyebaran konten belum terverifikasi. Inilah awal dari kisruh nasional yang dikenal dengan kasus ijazah Jokowi.
Siapa Rismon Sianipar dan Apa Perannya?
Rismon Hasiholan Sianipar adalah seorang praktisi dan ahli digital forensik
yang aktif melakukan analisis terhadap dokumen digital. Dalam kasus ini, ia
mengunggah video analisis terkait ijazah Jokowi. Dalam videonya, Rismon
memaparkan bahwa penggunaan font Times New Roman dalam ijazah Jokowi tidak
sesuai dengan teknologi pencetakan yang lazim pada masa itu.
Rismon
dianggap sebagai tokoh sentral dalam penyebaran informasi ini karena latar
belakangnya sebagai ahli forensik memberi bobot pada pernyataannya. Ia
menyebutkan bahwa temuan tersebut bersifat ilmiah dan perlu diverifikasi lebih
lanjut oleh lembaga resmi.
Meskipun Rismon mengaku hanya menyampaikan temuan teknis, keterlibatannya telah menimbulkan kontroversi besar. Karena itulah, ia diminta hadir sebagai saksi dalam penyelidikan yang dilakukan Polda Metro Jaya.
Pemeriksaan Rismon Sianipar oleh Polda Metro Jaya
Pada 26
Mei 2025, Rismon menghadiri panggilan pemeriksaan dari penyidik Direktorat
Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Pemeriksaan ini berlangsung sekitar
pukul 10.20 WIB. Pemeriksaan tersebut merupakan lanjutan dari laporan Presiden
Jokowi yang didaftarkan pada 30 April 2025 dengan nomor
LP/B/2831/IV/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA.
Dalam
pemeriksaan, penyidik fokus pada motif di balik video yang diunggah Rismon dan
bukti-bukti yang menjadi dasar analisisnya. Mereka juga menyelidiki apakah
unggahan tersebut melanggar UU ITE atau mengandung unsur pencemaran nama baik.
Kehadiran Rismon menjadi penting karena ia disebut dalam laporan resmi oleh kuasa hukum Presiden. Polisi ingin mengetahui sejauh mana ia terlibat dan apakah temuannya memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan.
Analisis Forensik Digital terhadap Ijazah Jokowi
Dalam
analisisnya, Rismon Sianipar menyatakan bahwa jenis font yang tercantum di
ijazah Presiden Jokowi tidak mungkin digunakan di tahun 1980-an. Ia merujuk
pada fakta bahwa Times New Roman baru mulai populer setelah era komputerisasi
pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an.
Namun,
pendapat ini langsung dibantah oleh beberapa ahli lain yang menyatakan bahwa
font Times New Roman sudah digunakan secara terbatas dalam dunia penerbitan dan
percetakan konvensional sebelum era digital. Beberapa universitas juga
mengonfirmasi bahwa mereka telah menggunakan font tersebut secara manual.
Kontroversi ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam menarik kesimpulan dari analisis digital. Apa yang terlihat tidak selamanya menunjukkan kebenaran absolut, apalagi jika disebarluaskan ke publik tanpa klarifikasi.
Tanggapan Istana dan Kuasa Hukum Presiden
Menanggapi
tuduhan tersebut, kuasa hukum Presiden Joko Widodo langsung melayangkan laporan
ke Polda Metro Jaya. Mereka menegaskan bahwa ijazah Jokowi adalah asli dan
dikeluarkan oleh lembaga pendidikan resmi.
Bahkan
Bareskrim Mabes Polri juga telah melakukan pengecekan dan menyatakan bahwa
dokumen tersebut sah dan legal. Pemerintah memandang serius isu ini karena
menyangkut kredibilitas kepala negara.
Istana menyayangkan penyebaran isu tanpa dasar dan menyebutnya sebagai bagian dari upaya disinformasi menjelang tahun politik. Mereka mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang belum diverifikasi.
Implikasi Hukum dari Tuduhan Ijazah Palsu
Tuduhan
terhadap Presiden Jokowi memiliki dampak hukum serius. Dalam hukum pidana,
menyebarkan informasi palsu yang merusak nama baik seseorang dapat dijerat
dengan pasal pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Selain
itu, pihak yang menyebarkan konten berisi tuduhan tersebut juga dapat dianggap
menyebarkan hoaks. Jika terbukti melanggar hukum, pelaku dapat dikenakan
hukuman pidana hingga 6 tahun penjara dan denda ratusan juta rupiah.
Polisi telah memeriksa lebih dari 29 saksi dan masih terus mengembangkan penyelidikan untuk mencari aktor utama penyebaran konten ini. Kasus ini menunjukkan pentingnya berhati-hati dalam memproduksi dan menyebarkan konten digital.
Reaksi Publik dan Media terhadap Kasus Ijazah Jokowi
Isu ini
memecah opini publik. Di satu sisi, sebagian masyarakat percaya pada keaslian
ijazah Jokowi dan menilai tuduhan tersebut hanya upaya menjatuhkan reputasi
Presiden. Di sisi lain, ada pula yang tetap mempertanyakan keabsahan dokumen
tersebut.
Media
nasional secara umum menampilkan berita secara berimbang, dengan mengutip
pendapat pakar, tanggapan resmi pemerintah, serta analisis digital. Namun, di
media sosial, narasi lebih liar dan tanpa kontrol, memperparah polarisasi
masyarakat.
Kasus ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh informasi digital terhadap persepsi publik, dan bagaimana media sosial dapat memperbesar sebuah isu dalam waktu singkat.
Peran Media Sosial dalam Menyebarkan Hoaks
Media
sosial kini menjadi kanal utama dalam menyebarkan informasi, termasuk hoaks.
Dalam kasus ijazah Jokowi, unggahan video analisis Rismon menyebar luas di
TikTok dan YouTube sebelum akhirnya diberitakan oleh media arus utama.
Algoritma
media sosial memprioritaskan konten viral, bukan konten akurat. Inilah yang
menyebabkan hoaks lebih cepat menyebar daripada klarifikasi resmi. Literasi
digital yang rendah juga memperparah kondisi ini.
Oleh karena itu, edukasi publik tentang cara memilah informasi menjadi sangat penting. Klarifikasi dan pengecekan fakta dari lembaga terpercaya harus menjadi referensi utama sebelum mempercayai konten yang beredar.
Penutup: Mengapa Klarifikasi Fakta Sangat Penting?
Kasus
ijazah Jokowi memberikan pelajaran penting tentang pentingnya klarifikasi dan
verifikasi sebelum menyebarkan informasi. Di era digital seperti saat ini, satu
unggahan bisa menimbulkan kegaduhan nasional jika tidak diimbangi dengan
literasi informasi yang kuat.
Publik
diharapkan lebih bijak dalam menyerap informasi, terutama yang bersifat
sensitif dan menyangkut tokoh penting. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja
sama melawan disinformasi untuk menjaga stabilitas demokrasi.
Dengan menyebarkan informasi yang benar dan bertanggung jawab, kita turut menjaga kualitas demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Baca juga di: Polemik Ijazah Jokowi: Tuduhan, Klarifikasi,dan Dampaknya terhadap Demokrasi